Kedatangan Durna di tengah-tengah mereka memaksa pertikaian antara Harjuna dan Ekalaya berhenti sementara.
“Aku dapat merasakan apa yang kalian rasakan. Sebagai seorang ksatria, perang tanding merupakan cara penyelesaian pamungkas yang terbaik. Kecuali jika salah satu di antara kalian mau mengalah atau mengaku kalah sebelum bertanding. Itu pun tidak mungkin kalian lakukan. Pasti! Karena aku tahu watak keduanya. Maka jangan salah sangka jika aku melarang kalian ber perang tanding. Silakan berperang tanding, asalkan jelas alasannya.”
“Ampun Bapa Guru, orang ini telah membunuh anjing pelacakku.”
“Ampun Sang Maha Resi, aku telah meminta maaf.”
“Bagus! Sisi lain dari seorang ksatria adalah mau mengakui kesalahannya.”
“Bagaimana dengan pihak yang tidak melakukan kesalahan, tetapi pihak yang dirugikan?”
“Itu tergantung orangnya. Jika yang dirugikan seorang Brahmana tentunya ia akan memaafkan, karena yang bersangkutan telah mengakui kesalahannya. Jika yang dirugikan seorang raja, ia akan memberi ampun tetapi bersyarat. Syaratnya bisa hukuman, denda atau yang lain. Jika yang dirugikan adalah seorang Ksatria, ia dapat memilih di antara keduanya, seperti raja atau seperti brahmana.”
“Ampun Bapa Guru, bolehkah saya tidak memilih di antara keduanya?”
“Boleh! Boleh! Apa yang kau pilih Harjuna?”
“Cara Ksatria sejati. Perang tanding!”
“Bagaimana Ekalaya?”
”Perang tanding untuk apa? jika untuk anjing yang mati aku tidak mau. Lebih baik aku mengaku kalah dan minta maaf.”
Harjuna terdiam. Ia kebingungan. Sesungguhnya untuk apa perang tanding? Yang pasti tidak untuk seekor anjing, melainkan untuk sebuah martabat dan harga diri.
“Bagaimana jawabmu Harjuna?”
Durna melemparkan pertanyaan Ekalaya.
“Sebagai saudara tua seperguruan aku ingin menjajal ilmu Ekalaya.”
“Bagus Harjuna! Sesungguhnya aku pun ingin menjajal seberapa tinggi tingkat ilmu seorang lelananging jagad.”
Darah muda Ekalaya mulai panas. Ia mulai tidak senang, bahkan cenderung muak melihat sikap ksatria besar seperti Harjuna bersifat arogan, meremehkan sesamanya. Maka ia sengaja membakar hati Harjuna yang sudah membara. Seperti dikomando, keduanya melakukan sembah kepada Sang Guru Durna dan memberi hormat kepada Aswatama, Anggraeni, Puntadewa, Bimasena, Nakula, Sadewa dan para cantrik-mentrik.
Maka mulailah mereka bertempur. Keduanya sama-sama sakti dan mempunyai bekal ilmu yang cukup. Jurus demi jurus mereka keluarkan. Ilmu demi ilmu mereka benturkan, namun keadaan masih berimbang. Mereka yang menyaksikan tegang berdebar menyaksikan kedua orang sakti beradu ilmu. Beberapa di antaranya menjadi pusing menyaksikan gerakan-gerakan Harjuna dan Ekalaya. Maka mereka lebih memilih menjauhi arena pertempuran dan duduk di bibir pendapa.
Hari menjelang sore, pertempuran belum berakhir. Keduanya sama-sama muda, sama-sama sakti, sama-sama tampan-rupawan, dan sama-sama menggunakan ilmu-ilmu Sokalima.
“Luar biasa, ternyata ilmu-ilmu Sokalima sangat dahsyat. Tetapi mengapa aku yang sudah belasan tahun menjadi cantriknya tidak dapat seperti mereka ya?” celetuk seorang cantrik.
“Lha iya jelas, wong kamu kalau diajari malah tidur,” timpal cantrik yang lain.
Karena hari mulai gelap dan keduanya sudah kehabisan tenaga maka Durna menghentikan pertempuran. Dengan wajah cemas Anggraeni memapah suaminya, diajak masuk ke bilik untuk kemudian dirawat dengan penuh kasih dan kesetiaan. Sedangkan di pihak Harjuna, Nakula dan Sadewa yang cemas sejak awal pertempuran berlari mendapati Harjuna untuk diajak berjalan memasuki salah satu bilik yang biasa ditempati Harjuna. Sementara Aswatama dan para cantrik-mentrik meninggalkan arena pertempuran untuk menceritakan kepada sanak saudara tentang pengalaman luar biasa yang baru sekali disaksikan sepanjang hidup mereka.
Suasana memang menjadi sangat sepi. Durna masih duduk sendirian, tidak ada satu cantrik pun yang berani mendekat. Tampaklah garis-garis wajahnya semakin dalam, sedalam kesenduan hatinya, menyaksikan kedua murid pilihan bertaruh antara hidup dan mati. Jika saat ini keduanya masih hidup, tentunya pada saatnya nanti hanya ada satu yang hidup. Ekalaya atau Harjuna.
Sejatinya yang menjadi harapan Durna, pertikaian antara Ekalaya dan Harjuna tidak usah dilanjutkan. Keduanya sama-sama sakti, ibarat dua sayap Sokalima yang perkasa. Mereka dapat membawa terbang nama Sokalima tinggi-tinggi, ke segala penjuru dunia. Sangat disayangkan jika satu di antaranya gugur pada medan harga diri. Namun itu tidaklah mungkin, karena di antara keduanya masih menyisakan bara api didadanya. Dinginnya malam di Sokalima tak kuasa mendinginkan hati mereka yang bertikai.
Dari masing-masing bilik yang ditempati Harjuna dan Ekalaya memancar energi yang saling bertemu sehingga bagi para cantrik yang kebetulan lewat di antara kedua bilik tersebut, pasti akan terkejut, dikarenakan ada sengatan hawa panas yang tidak mengenakkan.
Walau di dalam komplek padepokan Sokalima ada perbawa hawa panas, di depan pintu gerbang padepokan menebar energi lembut penuh kedamaian lewat kidungan cantrik jaga yang terbawa angin. Jika yang sedang bertikai mau membuka jendela hati dan membiarkan kidungan malam itu menyusup ke relung-relungnya, niscaya tidak mustahil pertempuran lanjutan yang tentunya lebih dahsyat tidak akan pernah terjadi.
Tidak peduli didengar atau pun tidak didengar, dirasakan maupun diabaikan, kidung malam tetap mengalun dari bibir cantrik tua yang berkulit kehitam-hitaman.
Ana kidung rumeksa ing wengi
ngreksa jiwa nala ingkang papa
ingkang ringkih sakabehe
saking rasa kumingsun
ngongasake diri pribadi
ngegungake priyangga
kebak watak umuk
tan gadhah ambeg welas
marang sapada-padhaning dumadi
tan purun angalaha.
ngreksa jiwa nala ingkang papa
ingkang ringkih sakabehe
saking rasa kumingsun
ngongasake diri pribadi
ngegungake priyangga
kebak watak umuk
tan gadhah ambeg welas
marang sapada-padhaning dumadi
tan purun angalaha.
Tidak beberapa lama kemudian, cantrik tua yang menjadi sumber suara kidungan tak kuasa menahan kantuknya, ia berbaring di gardu jaga. Akhirnya kidung malam yang mengingatkankan bahwa manusia ini lemah tak berdaya tetapi congkak dan tinggi hati, tak mau mengakui kelemahannya, hilang tak berbekas, tertutup suara burung hantu kutu-kutu walang ataga atau serangga-serangga malam yang saling bersahutan. Dengan demikian daya kidungan tersebut tak pernah menembus bilik mereka yang bertikai. Bilik hati Harjuna dan Ekalaya
Malam kian larut, tidak ada lagi senda gurau di antara para cantrik yang jaga, tidak terdengar lagi kidung malam. Hari menjelang dini hari, tidak seperti biasanya Guru Durna duduk sendirian di ruang tengah. Disorot lampu temaram, tampaklah bahwa ia sedang berduka, duka yang sangat dalam. Baru kali ini sebagai guru besar ia tak kuasa menghentikan pertikaian kedua muridnya. Yah walaupun secara resmi Ekalaya tidak diangkat menjadi muridnya, tetapi jujur saja secara batin Durna telah mengangkat Ekalaya sebagai muridnya. Apalagi diperkuat dengan adanya patung Durna di Sanggar Ekalaya yang dijadikan pusat konsentrasi dalam mempelajari ilmu-ilmu Sokalima.
Selagi masih ada kesempatan, Durna berusaha mencegah kemungkinan yang paling buruk yaitu kematian salah satu di antara keduanya. Namun usaha Durna hanya mampu menunda saatnya. Karena permasalahannya sudah merambah pada harga diri, hal yang paling berharga bagi seorang kesatria. Dan penyelesaiannya hanya satu yaitu perang tanding. Dua hari lagi di saat bulan purnama mereka akan berperang tanding antara hidup dan mati.
Kabar tentang perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya telah tersebar tidak hanya di wilayah padepokan Sokalima, tetapi jauh di luar Sokalima. Di tanah lapang yang biasanya menjadi tempat pendadaran murid-murid Sokalima, malam itu menjadi istimewa. Sejak sore hari ribuan orang mulai berdatangan. Mereka ingin meyaksikan lanjutan pertandingan maha dahsyat di abad ini.
Di tengah kerumunan orang yang jumlahnya mencapai ribuan, Durna berdiri tegar di antara keduanya, Harjuna dan Ekalaya. Detik-detik purnama telah muncul di ufuk timur. Harjuna dan Ekalaya telah mempersiapkan diri. Demi sebuah harga diri, mereka telah siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk, yaitu kematian.
Sebentar kemudian perang tanding dimulai. Bayangan keduanya tidak dikenali lagi yang mana Ekalaya dan yang mana Harjuna. Seperti pertandingan pertamanya, sebagian besar dari mereka pandangannya kabur dan kepalanya menjadi pusing.
Sebelum menyadari apa yang terjadi tiba-tiba Harjuna terlempar ke luar arena. Sorak membahana dari penonton menambah bara api di dada Harjuna menjadi semakin menyala. Ia mulai tak sabar, tangannya manyambar busur yang telah disiapkan di pinggir arena. Bruull! Ribuan anak panah keluar dari busurnya. Dengan tenang Ekalaya menyambut hujan panah yang diluncurkan Harjuna. Hanya hitungan detik patahan anak panah jatuh berserakan di antara Harjuna dan Ekalaya.
Perang adu kesaktian ilmu memanah berlangsung lama. Pada akhirnya Harjuna mengeluarkan pusaka andalan Sokalima yang diwariskan Guru Durna kepadanya yaitu pusaka Gandewa. Pusaka tersebut memancarkan cahaya berkilau yang menyilaukan mata.
Reketek!! Pusaka gandewa ditarik oleh Harjuna. Durna sangat terkejut, ia ingin mencegahnya namun terlambat. Dari pusaka gandewa telah meluncur ribuan anak panah yang tak habis-habisnya, mengarah pada Ekalaya. Semua penonton tercengang memandangnya. Sungguh luar biasa.
Aswatama yang pernah kecewa karena Rama Durna telah mewariskan pusaka dahsyat kyai Gandewa kepada Harjuna, mencemaskan keselamatan Ekalaya sahabatnya yang dihujani ribuan anak panah yang muntah dari busur Gandewa. Wah gawat!! Namun setelah menyaksikan bagaimana Ekalaya menyambut hujan panah yang dilontarkan Harjuna, dengan busur pusaka yang tak kalah dahsyatnya dengan pusaka Gandewa, kecemasan Aswatama berkurang. Namun ketegangan justru semakin bertambah. Tidak saja bagi Aswatama, tetapi juga dirasakan oleh mereka yang menyaksikan ribuan anak panah saling beradu dan meledak-ledak di angkasa Sokalima.
Malam bulan purnama semakin bercahaya karena dihiasai oleh percikan-percikan api warna-warni akibat beradunya ribuan anak panah yang dilontarkan Harjuna dan Ekalaya. Kejadian yang luar biasa tersebut membuat Kahyangan Jonggring Saloka gonjang-ganjing. Ada hawa panas menebar di seluruh wilayah para dewa tersebut, di tempat Batara Guru bertahta. Karena terusik kenyamanannya diutuslah Patih Narada untuk melerai pertikaian antara Harjuna dan Ekalaya. Dalam perjalanan menuju ke Marcapada, Hyang Narada tertegun melihat pemandangan di depannya, tepat di atas langit Soka Lima. Ada percikan cahaya api warna-warni silih berganti. Sampai sehebat inikah kesaktian keduanya? Layak jika pengaruhnya sampai ke Kahyangan Jonggring Saloka. Maka tanpa membuang waktu, Dewa nomor dua di Kahyangan Jonggring Saloka tersebut segera turun ke arah yang sedang bertikai. Namun niat Patih Narada terhalangi oleh asap hitam pekat yang muncul tiba-tiba menyusul suara ledakan menggelegar. Awan hitam tersebut semakin tebal bergulung-gulung menyelimuti langit Soka Lima. Bersamaan dengan suara ledakan dahsyat, Batara Guru diiringi para Dewa dan Dewi turun dari Kahyangan ingin menyaksikan apa yang terjadi di Marcapada.
Suasana menjadi sangat mencekam. Malam bulan purnama yang sebelumnya semakin mempesona dengan adanya percikan-percikan api warna-warni kini menjadi gelap gulita dan sepi mencekam. Tidak ada lagi sorak sorai dan tepuk tangan dari para penonton yang menyaksikan perang-tanding antara Ekalaya dan Harjuna. Melihat keadaan yang semakin tidak nyaman, Batara Guru memerintahkan agar para Dewa-Dewi menaburkan bunga-bunga dengan aroma nan wangi untuk menyingkirkan asap hitam yang menyelimuti Soka Lima. Sekejap kemudian hujan bunga telah mengguyur Soka Lima. Daya dan aromanya mampu menyibak asap hitam yang menutupi kejadian besar yang ada di Soka Lima. Pelan tapi pasti, asap hitam pekat yang menutupi padepokan Soka Lima berangsur-angsur menghilang. Malam bulan purnama menjadi sempurna kembali. Malam menjadi mempesona. Ribuan penonton perang tanding yang sejak sore berdatangan di Soka Lima belum beranjak dari tempatnya. Mereka yang telah menumpahkan perhatiannya dengan segenap rasa-perasaan dan emosinya di dalam perang tanding tersebut semakin dibuat terheran-heran dengan kejadian berikutnya.
Tanah lapang di Soka Lima, tempat Harjuna dan Ekalaya bertanding, kini penuh bertaburan bunga warna-warni dengan aroma keharumannya masing-masing. Asap tebal yang muncul akibat ledakan yang ditimbulkan karena beradunya kedua busur pusaka milik Harjuna dan Ekalaya kini telah berganti dengan para Dewa-Dewi yang mengiringi Batara Guru yang menyusul Batara Narada untuk menghentikan yang sedang bertikai.
“Kang! Bermimpikah aku?”
“Coba aku cubit lenganmu”
“Aduh! Sakit kang.”
“Itu namanya kamu tidak sedang bermimpi. Kau dan aku berada di dalam alam sadar.”
“Tetapi lihatlah itu kang, langit di sekeliling kita penuh dengan gambar para dewa yang sangat mempesona dan para dewi yang amat jelita.”
“Ssst! Jangan keras-keras dan gumunan isteriku, itu adalah para Dewa dan para Dewi yang mengiringi Batara Guru dan Batara Narada, ingin melerai perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya.”
Sepasang suami isteri tersebut tidak memperpanjang pembicaraannya. Mereka bersama-sama ribuan penonton yang lain lebih memilih memusatkan perhatiannya dengan apa yang akan dilakukan Batara Guru dan Batara Narada terhadap Harjuna dan Ekalaya yang tergeletak tak berdaya. Dikarenakan mereka berdua telah menguras tenaga dan ilmunya untuk memuntahkan puluhan ribu anak panah melalui busur pusakanya masing masing. Pada puncaknya Busur Gandewa milik Harjuna dan busur pusaka milik Ekalaya saling menyedot dan beradu. Maka terjadilah ledakan amat dahsyat disertai asap hitam pekat yang bergulung-gulung, menggulung kedua busur pusaka hingga hilang tak berbekas.
Durna tergopoh-gopoh menyembah rajanya dewa serta pengiring yang menginjakkan kakinya di Soka Lima. Setelah menanggapi sembah Durna dan juga sembah dari ribuan orang yang hadir, Batara Guru didampingi Batara Narada mendekati Ekalaya dan Harjuna untuk kemudian memercikkan air kehidupan kepada mereka. Setelah itu didekatinya orang nomor satu di Soka Lima sembari bersabda:
“Durna selesaikan pertikaian di antara muridmu dengan adil.”
Sekejap kemudian Batara Guru dan seluruh pengiringnya meninggalkan Soka Lima. Malam pun pulih seperti malam purnama sebelumnya, sebelum ada pertikaian yang menimbulkan hawa panas ke seluruh alam semesta dan mengusik kenyamanan alamnya para Dewa-Dewi. Soka Lima berangsur-angsur pulih seperti hari-hari biasa yang tenang dan damai jauh dari mereka yang bertikai.
Orang-orang mulai melangkah pulang dengan perasaan yang sulit digambarkan dan terlalu banyak untuk diceritakan. Namun di masing-masing hati masih tersisa pertanyaan bagaimanakah akhir dari pertikaian antara hidup dan mati. Dan kalau boleh mereka berharap bahwa pertikaian akan berubah menjadi perdamaian dan persahabatan.
Memang benar, di sisa malam itu Soka Lima boleh menikmati ketenangan dan ketentraman, dikarenakan yang bertikai terbaring tak berdaya. Bahkan mungkin jika Sang Hyang Guru tidak memercikkan air kehidupannya di raga mereka yang lemah, tidak ada kehidupan lagi. Dengan demikian tentunya akan tamatlah pertikaian mereka bersama kerapuhan raganya.
(Herjaka HS)